Menjunjung Tinggi Budaya di Lingkungan Sekolah

Menjunjung Tinggi Budaya di Lingkungan Sekolah – Pada umumnya sekolah merupakan tempat untuk membentuk karakter seseorang untuk menjadi lebih cerdas, berpendidikan, dan berkarakter. Melaksanakan kegiatan pembelajaran dan melakukan kebiasaan yang di mana jika hal itu dilakukan bisa menjadi budaya tersendiri saat menjalani pendidikan sekolah.

Untuk menerapkan budaya, maka perlu bagi kami para siswa/i untuk melakukan tindakan yang positif di lingkungan sekolah. Dengan melakukan nilai baik di sekolah, hal ini bisa merubah karakter seseorang menjadi lebih baik.

Kebiasaan prisonersamongus yang sering diterapkan pada lingkungan sekolah bisa dilihat dari beberapa hal.

Kesopanan

Hal ini sudah menjadi rahasia umum untuk setiap keadaan selalu menjaga sopan santun, kebiasaan ini sudah biasa dilakukan di lingkungan sekolah saya sejak lama. Dengan komitmen yang diterapkan sekolah saya yang berbunyi ‘senyum,salam,sapa’ membuat kami selalu menjaga kesopanan terhadap sesama, dan dari hal ini juga bisa memberikan dampak positif dalam lingkungan sekolah.

Melaksanakan Tata Tertib Peraturan Sekolah

Setiap sekolah pasti memiliki pertaruan tersendiri untuk diterapkan kepada murid. Tata tertib yang diterapkan kepada siswa/i dilakukan agar kami memiliki nilai disiplin dalam menghadapi pembelajaran di sekolah. Saat siswa/i melakukan tata tertib dengan baik dan benar, maka hal itu bisa memberikan dampak baik dalam waktu yang lama. Di sekolah saya sendiri, ada tata tertib seperti wajib memakai dasi saat upacara, memakai seragam sesuai dengan jadwal, datang tepat waktu, dan lainya.

Keragaman Budaya Daerah

Di lingkungan sekolah kami tidak hanya belajar dari kebiasaan yang sudah lama kami terapkan. Akan tetapi, kami juga belajar mengenai budaya daerah. Budaya daerah Jawa Barat ini diterapkan di sekolah saya dari awal sekolah saya dibangun. Karena sekolah kami berlokasi di kota Bekasi yang dimana kota Bekasi sendiri masih termasuk dalam wilayah Jawa Barat.

Upaya sekolah saya dalam menjaga budaya Jawa Barat bagi siswa/i wajib memakai pakaian daerah Jawa Barat di setiap hari Rabu. Bagi wanita memakai seragam full kebaya dan bagi pria wajib memakai baju pangsi hitam maupun putih, lengkap dengan totopong di atas kepala.

Pada momen tertentu, seperti hari ulang tahun sekolah atau ulang tahun Jawa Barat, sekolah kami juga turut mengadakan acara dengan diadakanya lomba yang bertemakan daerah Jawa Barat. Dimeriahkan dengan kegiatan pawai mengelilingi lingkungan sekolah memakai properti daerah Jawa Barat.

Baca juga: Game Pintar untuk Anak yang Mengedukasi

Keagamaan

Tidak hanya budaya jasmani, tetapi budaya keagamaan diterapkan di sekolah saya. Dengan melakukan kebiasaan keagamaan, bisa menanamkan sikap keberagaman pada setiap siswa/i. Hal keagamaan yang biasa kami lakukan seperti mengaji bersama di lapangan setiap Jumat, berdoa sebelum belajar, serta melakukan kewajiban bagi setiap agama.

9 Jenis Layanan Bimbingan Konseling di Pendidikan yang Wajib Diketahui

9 Jenis Layanan Bimbingan Konseling di Pendidikan yang Wajib Diketahui – Saat menempuh pendidikan sekolah menengah, kita pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah guru BK atau Bimbingan Konseling.

Bimbingan Konseling adalah bantuan dari seorang ahli untuk peserta didik dengan cara tatap muka.

Tujuannya sendiri jelas untuk membantu peserta didik berkembang secara optimal.

Nah, di artikel kali ini, kita akan membahas jenis-jenis layanan bimbingan konseling secara rinci.

9 Jenis Layanan Bimbingan Konseling di Pendidikan

Selama ini kita mengira bimbingan konseling hanya mempunyai satu jenis saja. Padahal, dikutip dari buku Dasar-Dasar Konseling karya Drs. Abu Bakar M. Luddin, ada 9 jenis prisonersamongus.com layanan bimbingan konseling yang harus kamu ketahui.

1. Layanan Orientasi

Layanan ini ditujukan untuk siswa baru guna memberi pemahaman dan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekolah yang baru saja dimasuki. Fungsi utama bimbingan yang didukung oleh layanan orientasi adalah fungsi pemahaman dan pencegahan.

2. Layanan Informasi

Layanan ini bertujuan untuk membekali siswa dengan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai hal yang berguna untuk peserta didik, contohnya mengenal diri.
Sama seperti layanan orientasi, fungsi utama bimbingan yang didukung adalah fungsi pemahaman dan pencegahan.

3. Layanan Penempatan dan Penyaluran

Bertujuan untuk memperoleh tempat yang sesuai bagi peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya. Fungsi utama yang didukung adalah pencegahan, pemahaman, pengentasan, advokasi, pengembangan dan pemeliharaan.

4. Layanan Penguasaan Konten

Bertujuan untuk memungkinkan siswa memahami serta mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik, keterampilan dan kecepatan yang cocok.

Fungsi utama yang didukung adalah pemahaman, pencegahan, pengentasan, pengembangan dan pemeliharaan.

5. Layanan Konseling Perorangan

Bertujuan agar siswa mendapatkan layanan langsung secara tatap muka dengan konselor dalam rangka pengentasan masalah pribadi klien.

6. Layanan Bimbingan Kelompok

Memungkinkan siswa secara bersama-sama memperoleh berbagai bahan acuan untuk mengambil keputusan. Fungsi utama yang didukung adalah fungsi pemahaman dan pengembangan.

7. Layanan Konseling Kelompok

Memungkinkan siswa memperoleh kesempatan bagi pembahasan dan pengentasan masalah yang dialami melalui dinamika kelompok. Fungsi utama yang didukung ialah fungsi pengentasan.

Baca juga: 5 Kampus Terbaik di Asia untuk Jurusan Kuliah Psikologi

8. Layanan Konsultasi

Memungkinkan siswa memperoleh wawasan pemahaman dan cara yang perlu dilakukan dalam menangani kondisi atau permasalahan pihak ketiga. Fungsi utama yang didukung ialah fungsi pemahaman dan pengentasan.

9. Layanan Mediasi

Terakhir, bertujuan untuk membantu siswa mencapai kondisi hubungan yang kondusif dsn positif. Fungsi utamanya ialah fungsi pemahaman dan pengentasan.

Nah, itu dia 9 jenis layanan bimbingan konseling di institusi pendidikan yang perlu kamu ketahui. Semoga bermanfaat ya!

Melawan Kebijakan Irasional dan Otoriter dalam Dunia Pendidikan

Melawan Kebijakan Irasional dan Otoriter dalam Dunia Pendidikan – Dunia pendidikan belakangan ini jadi sorotan dan santer dibicarakan oleh berbagai kalangan, baik kalangan yang ada di tongkrongan warung kopi, tongkrongan para pelajar dan mahasiswa, tongkrongan para ibu-ibu rumah tangga, tongkrongan para praktisi pendidikan, maupun tongkrongan para elite politik—dalam hal ini yang mempunyai hak dan wewenang untuk membuat suatu kebijakan.

Para kalangan ini saling menyoroti terkait kebijakan dan peraturan yang dibuat serta dikeluarkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Bungtilu Laiskodat yang membuat suatu aturan dan kebijakan baru dalam dunia pendidikan yang ada di daerahnya.

Di mana dia membuat suatu kebijakan siswa SMA/SMK sederajat harus berangkat ke sekolah pukul 05.00 pagi. Kebijakan itu langsung diuji coba di sepuluh sekolah—meski kebijakan tersebut kemudian direvisi menjadi jam 05.30 WITA.

Kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi tersebut menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tetapi dalam hal ini massa yang kurang setuju dan cenderung melawan kebijakan tersebut menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan Gubernur NTT tersebut tidak berlandaskan atau tidak berpijak terhadap penelitian keilmiahan dan cenderung ngawur dalam membuat sebuah keputusan.

Bagaimana tidak, Gubernur membuat kebijakan di mana ia memerintahkan para siswa masuk sekolah pukul 5 pagi dengan alasan bahwa sang gubernur ingin melatih dan membentuk karakter siswa/i SMA/SMK serta melatih etos kerja yang ada di Nusa Tenggara Timur.

Niat awal yang diinginkan oleh gubernur sebenarnya baik karena ingin melatih karakter siswa agar lebih disiplin dan bisa bertanggung jawab. Akan tetapi niat awal yang baik tersebut tidak didukung oleh berbagai hal yang membuat niat tersebut menjadi salah kaprah dalam bertindak.

Begitu banyak aspek yang membuat keputusan gubernur tersebut sangat layak untuk dikritisi sekaligus dilawan. Dari kebijakan tersebut kita bisa menilai dari sisi psikologisnya terlebih dahulu. Dampak dari kebijakan tersebut sangat memungkinkan menghasilkan efek yang buruk bagi siswa itu sendiri.

Kebijakan berangkat ke sekolah pukul 05.00 pagi dapat berdampak terhadap kondisi fisik, emosi, dan kognitif para siswa. Jika dilihat dalam segi kondisi fisik, kebijakan tersebut dapat mempengaruhi kualitas tidur para siswa sehingga dapat memengaruhi kondisi fisiknya.

Disisi lain, penambahan jam sekolah juga berakibat terhadap siswa yang nantinya menjadi kelelahan akut terhadap anak yang bisa menurunkan imunitas tubuh sehingga sangat rentan terhadap penyakit serta belajar menjadi tidak fokus.

Dikutip dari tempo.co, kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 pagi juga memiliki dampak terhadap segi emosi anak. Mereka harus bangun lebih pagi dari biasanya yang hal tersebut justru tidak mudah. Juga dengan orang tua yang bisa sewaktu-waktu tersulut emosinya ketika melihat sang anak belum siap untuk berangkat ke sekolah.

Terdapat lingkaran persoalan emosi negatif dalam kondisi seperti itu. Belajar di sekolah yang seharusnya diawali dengan emosi positif yang penuh akan harapan dan motivasi, malah menjadi emosi yang negatif yang penuh ketakutan dan kekhawatiran.

Jikalau hal ini berlangsung begitu lama muncul kekhawatiran yang nantinya ditakutkan para siswa ini hilang motivasinya untuk belajar di sekolah. Guru pun juga begitu lama-lama akan merasa capek dan hilang motivasinya untuk memberikan pengajaran terhadap siswanya. Sehingga hak-hak mendapatkan pengajaran yang baik bagi para siswa kurang terpenuhi karena kondisi dan keadaan tersebut.

Dalam segi kognitif kebijakan tersebut juga memberi dampak yang buruk. ebijakan berangkat sekolah lebih pagi dapat mempengaruhi aspek kognitif pada anak dikarenakan dalam hal ini otak manusia itu akan berfungsi secara optimal apabila kondisi badan dalam keadaan sehat dan bahagia.

Apabila siswa dalam belajar otaknya tidak dalam kondisi yang optimal dalam hal ini sehat dan bahagia, maka akan terjadi suatu degradasi terhadap kualitas literasi dan numerasi serta dalam pengambilan suatu keputusan akibat dikeluarkannya kebijakan tersebut.

Dalam faktor lainnya, misalkan dalam segi keamanan. Masuk sekolah pukul 05.00 pagi juga rentan terhadap keamanan para siswa itu sendiri. angit yang masih gelap dan sang surya belum menampakkan sinarnya berdampak pada segi keamanan siswa saat hendak berangkat menuju sekolah.

Karena kondisi yang masih gelap sangat berisiko terhadap siswa, yang ditakutkan nanti ketika siswa menuju ke sekolah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya pembegalan atau tindakan kejahatan lainnya.

Dalam segi fasilitas umum dan transportasi juga dinilai kurang memadai dan kurang menopang kebijakan yang dikeluarkan oleh Gubernur Viktor. ada jam tersebut transportasi umum belum beroperasi sehingga sangat menyulitkan para siswa yang berangkat ke sekolah naik transportasi umum dan jarak tempuh dari rumah ke sekolah cukup jauh.

Kebijakan ini dikeluarkan juga tidak melibatkan partisipasi dari berbagai pihak, utamanya para pelajar itu sendiri yang menerima konsekuensi dari adanya kebijakan tersebut. eharusnya para pelajar tersebut juga mendapatkan hak belajarnya secara merdeka sesuai dengan arahan pemerintah saat ini bahwa belajar itu harus merdeka dan merdeka untuk belajar.

Prinsip dasar daripada merdeka belajar ialah menempatkan para pelajar tersebut dalam posisi yang merdeka dan memerdekakan. Dalam hal ini, pelajar diberikan ruang yang seluas-luasnya dan selebar-lebarnya untuk bisa mengeksplor serta memiliki kesempatan untuk ikut serta merancang peta jalan pembelajarannya.

Sejatinya pendidikan di Indonesia itu harusnya berpatok dan tidak terlepas dari semangat api perjuangan Ki Hajar Dewantara, yakni keteladanan (ing ngarsa sung tuladha), pembangunan semangat (ing madya mangun karsa), dan pemberdayaan (tut wuri handayani).

Baca juga: Teknologi Bisa Permudah Belajar Matematika

Menuntut ilmu atau belajar di sekolah seharusnya memberikan semangat dan membangun gairah belajar yang asyik dan menyenangkan serta memberikan seluas-luasnya terhadap ruang kemerdekaan. Bukan malah menjadi sumber ketakutan dan rasa kekhawatiran.

Kebijakan yang dibuat Gubernur Viktor begitu irasional dan cenderung otoriter. Karena sejatinya peserta didik di sini dijadikan sebagai subjek dalam pengambilan kebijakan yang harapannya nanti memberikan dampak baik terhadap mereka justru mereka malah dijadikan sebagai objek suatu kebijakan terkait pendidikan. Para pelajar di NTT tersebut menjadi kelinci percobaan dari kebijakan yang dibuat sang gubernur.

Karena kebijakan yang dibuat tersebut tidak melibatkan para pelajar yang ada di NTT. Oleh sebab itu, sudah seharusnya para pelajar harus menyuarakan aspirasi penolakannya karena dirasa kebijakan tersebut dinilai merugikan terhadap diri mereka secara kolektif. Hal itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan peserta didik sendiri di masa depan.

Sudah saatnya dan seharusnya pelajar yang ada di NTT dan di seluruh Indonesia agar tidak diam dan menerima begitu saja praktik-praktik irasional dan otoriter dalam dunia pendidikan. Para pelajar harus berani menyuarakan dan memperjuangkan nilai-nilai luhur yang baik dan menentang tindakan semena-mena.

Jika perlu, lakukan konsolidasi kekuatan secara serius. Serta memperjuangkan gagasan dan pemikirannya dengan cara bergotong-royong.

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah Dasar

Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah Dasar – Manajemen Berbasis Sekolah dalam suatu sistem pendidikan adalah desentralisasi yang konsisten dan sistematis sampai kepada kewenangan dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk mengambil keputusan atas persoalan-persoalan penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan di sekolah dalam kerangka tujuan, kebijakan, kurikulum, standar dan akuntabilitas yang ditentukan secara terpusat.

Manajemen berbasis sekolah merupakan reformasi pendidikan yang populer sebagai cara untuk meningkatkan kinerja sistem pendidikan. Manajemen berbasis sekolah memungkinkan orang-orang yang bekerja di sekolah untuk membuat keputusan tentang bagaimana uang dibelanjakan, siapa yang dipekerjakan, dan bagaimana pembelajaran disampaikan kepada siswa. Meskipun tujuan dan standar ditentukan prisonersamongus.com oleh pusat, manajemen berbasis sekolah memungkinkan proses yang digunakan untuk mencapai hasil dibuat di tingkat sekolah.

Pendukung manajemen berbasis sekolah berpendapat bahwa sistem pendidikan harus mendesentralisasi otoritas pengambilan keputusan untuk meningkatkan kinerja sekolah. Pendapat ini didukung oleh alasan bahwa pendidik di sekolah adalah orang yang paling dekat dengan siswa sehingga mereka berada pada posisi terbaik untuk menilai kebutuhan siswa dan merancang program pendidikan untuk memenuhi kebutuhan siswa. Selain itu, guru dan lainnya juga akan memperoleh rasa kepemilikan yang lebih besar terhadap peningkatan kinerja sekolah jika mereka terlibat langsung dalam pengambilan keputusan. Alasan lainnya adalah pengambilan keputusan secara desentralisasi juga akan meningkatkan efektivitas penggunaan sumber daya yang terbatas. Sekolah dengan manajemen berbasis sekolah dapat merancang sumber dayanya seperti dana untuk pengembangan pendidikan dan tenaga kependidikan, serta fasilitas belajar untuk memenuhi kebutuhan setempat.

Manajemen berbasis sekolah yang merupakan desentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat ke tingkat sekolah, secara konseptual dapat dianggap sebagai perubahan formal dari struktur pemerintahan.

Perubahan ini sebagai bentuk desentralisasi mengidentifikasi sekolah individu sebagai unit utama pembangunan dan bergantung pada redistribusi otoritas pengambilan keputusan sebagai cara utama di mana perbaikan dapat distimulasi dan dipertahankan.

Manajemen berbasis sekolah melibatkan pengalihan beberapa tanggung jawab dan pengambilan keputusan untuk operasi sekolah kepada kombinasi kepala sekolah, guru, orang tua, dan anggota komunitas sekolah lainnya. Manajemen berbasis sekolah dilaksanakan dalam upaya memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan guru. Kekuasaan yang diberikan dapat memperkuat motivasi profesional mereka sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan rasa kepemilikan kepala sekolah dan guru terhadap sekolahnya. Selain itu, manajemen berbasis sekolah melibatkan masyarakat setempat dengan cara yang berarti untuk membuat keputusan tentang sekolah setempat. Dengan demikian, manajemen berbasis sekolah dapat meningkatkan kecepatan dan relevansi pengambilan keputusan di tingkat sekolah.

Dalam manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah, guru, dan seringkali orang tua dan siswa diberdayakan untuk membuat keputusan yang mempengaruhi cara sekolah dikelola dan pembelajaran disampaikan kepada siswa. Manajemen berbasis sekolah adalah penerapan teori manajemen bisnis modern pada sistem sekolah yang berupaya menempatkan tanggung jawab maksimum untuk perencanaan pendidikan, akuntabilitas, dan pengelolaan sumber daya manusia dan material pada individu pegawai sekolah. Manajemen berbasis sekolah memungkinkan sekolah untuk mengalokasikan sumber daya mereka yang terbatas dengan cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan sekolah, staf dan komunitas sekolah. Manajemen berbasis sekolah melibatkan perimbangan akuntabilitas pengambilan keputusan antara sekolah dan kabupaten. Hal ini berarti bahwa kebijakan, isi, dan apa yang termasuk dalam pembelajaran ditentukan oleh tingkat daerah, sedangkan strategi, proses, dan bagaimana program pembelajaran akan disampaikan ditentukan di tingkat sekolah. Sekolah bertanggung jawab untuk mengambil keputusan tentang dana dan alokasinya untuk pengajaran dan tenaga kependidikan, peralatan, pengembangan tenaga kependidikan dan kependidikan, transportasi, dan buku pelajaran. Daerah akan mengalokasikan sumber daya untuk setiap sekolah berdasarkan jenis atau jenjang sekolah, jumlah siswa, dan jenis program pengajaran yang dibutuhkan di sekolah tersebut. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah mencakup pertimbangan dan norma budaya di sekolah yang berkaitan dengan peran dan perilaku kepala sekolah dan guru yang dapat diterima.

Tujuan dari manajemen berbasis sekolah adalah otonomi, fleksibilitas, efisiensi, produktivitas dan akuntabilitas yang mengarah pada keuntungan, kualitas dan efisiensi. Tujuan akhir dari model desentralisasi dalam kebijakan pendidikan adalah untuk menciptakan organisasi pembelajaran dan lingkungan belajar yang efektif untuk meningkatkan prestasi akademik dan meningkatkan kualitas siswa.

Keberhasilan model manajemen berbasis sekolah terletak pada penerapan akses, keseimbangan, dan pemerataan sosial yang mempengaruhi keseluruhan pola keseimbangan kesempatan pendidikan dalam budaya global.

Masalah utama dalam penerapan manajemen berbasis sekolah di sekolah dasar adalah mengenai peran dan tanggung jawab. Sejauh mana kepala sekolah melibatkan dan mendukung pendidik dan tenaga kependidikan dalam memberikan saran sangat penting. Pendelegasian tanggung jawab kepada masing-masing sekolah berarti kontrol yang lebih besar atas anggaran sekolah. Di dalam sekolah, tanggung jawab penganggaran biasanya dilimpahkan kepada kepala sekolah yang merupakan masukan dari warga sekolah. Salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah adalah sejauh mana berbagai jenis keputusan telah didesentralisasikan di dalam sekolah. Dalam beberapa situasi, otoritas pengambilan keputusan telah didelegasikan terutama kepada kepala sekolah. Di beberapa sekolah, beberapa bentuk dewan sekolah merupakan kekuatan yang dominan dan selain dewan sekolah tidak terlibat secara substansial.

Baca juga: FKG Universitas Moestopo Berkomitmen Beri Pendidikan Terbaik

Elemen kunci dari desentralisasi sistem sekolah adalah mengizinkan masing-masing sekolah untuk menganggarkan dan membelanjakannya. Keputusan pendanaan mendukung banyak keputusan-keputusan yang lainnya. Keputusan untuk mempekerjakan karyawan didelegasikan ke tingkat sekolah sampai batas tertentu.

Pembatasan yang diperlukan pada rasio siswa dengan guru dan persyaratan untuk jenis guru tertentu (seperti guru pendidikan khusus) akan membatasi fleksibilitas dalam mempekerjakan atau menugaskan staf pengajar.

Paradigma Pendidikan Holistik

Paradigma Pendidikan Holistik – Keluarga, sekolah, dan lingkungan merupakan tiga komponen utama dalam proses pendidikan yang berkesinambungan. Ketiganya terlibat membentuk karakter peserta didik dalam porsi relatif berbeda.

Kecuali lembaga pendidikan berasrama seperti pesantren atau boarding school, di mana peran ketiga elemen tersebut nyaris melekat seluruhnya pada institusi selama proses pendidikan berlangsung.

Namun, dalam situasi umum proses pendidikan di Indonesia yang menganut konsep pendidikan beragam, antara yang full day dan boarding, tiga elemen itu seperti punya peran terpisah. Mindset masyarakat kita tentang pendidikan, umumnya menempatkan  prisonersamongus.com institusi resmi, yaitu sekolah, sebagai pusat transfer kognitif atau hal-hal yang bersifat akademis.

Sementara pembentukan karakter seolah diserahkan kepada keluarga dan lingkungan. Padahal, peran ketiganya tidak harus terpecah dalam dikotomi sempit yang justru menghambat proses optimalisasi pendidikan. Keluarga, sekolah, dan lingkungan secara fungsional semestinya mengelaborasi semua fungsi pendidikan di mana pun ketiga ‘institusi’ ini dapat menjangkau peserta didik.

Dampak dari dikotomi tersebut sangat terlihat di masa-masa adaptasi pembelajaran akibat COVID-19 ini.

Orang tua dan lingkungan tampak gagap ketika anak harus belajar secara virtual, school from home.

Institusionalisasi pola pikir bahwa sekolah tempat belajar akademik dan keluarga serta lingkungan tempat belajar karakter, mengakibatkan ada yang terputus dalam proses transfer nilai dan ilmu pengetahuan terhadap anak-anak kita. Paling kentara, terlihat dari semangat belajar yang fluktuatif, atau bahkan cenderung lemah ketika berada di lingkungan yang selama ini dilabeli sebagai “bukan sekolah”.

Proses pendidikan semestinya menanamkan nilai dasar pada anak didik, bahwa semua tempat adalah sekolah, semua orang, termasuk teman dan lingkungan adalah guru. Bila ini menjadi paradigma dasar masyarakat kita dalam memposisikan proses pendidikan, maka anak-anak kita punya banyak ruang pembelajaran. Jadi kaya khazanah pengetahuan, wawasan dan bisa terlibat dalam berbagai seleksi nilai maupun karakter yang mereka jumpai sepanjang perjalanan hidup. Paradigma ini, juga menuntun kita melihat bahwa kehidupan merupakan proses pendidikan sepanjang hayat.

Kabar baiknya, beberapa lembaga pendidikan yang memang dikelola lebih modern dan berpikir maju, sudah lama meninggalkan tradisi pemecahan fungsi tiga elemen pendidikan itu. Mengadopsi paradigma pendidikan holistik. Khususnya diterapkan oleh sekolah-sekolah swasta yang kurikulumnya dirancang dan di-develop sesuai intuisi masa depan di mana dinamika ilmu pengetahuan terus berkembang.

Model pendidikan seperti ini pula yang dikembangkan di Insan Cendekia Madani (ICM). Sekolah yang saya dirikan sepuluh tahun yang lalu, mengelaborasi banyak materi pendidikan. Mulai dari pengayaan gagasan dari rahim ideolog dan cendekiawan muslim yang kemudian kita sebut sebagai Prophetic Curriculum, hingga penerapan Kurikulum Cambridge yang terstandardisasi secara internasional.

Pendidikan berkarakter yang direfleksikan melalui integritas intelektual dan kapasitas moral, merupakan buah dari terbangunnya paradigma pendidikan holistik. Sebaliknya, bila dunia pendidikan dipandang secara parsial dan institusional, maka kita akan menemukan banyak cacat moral dan integritas.

Bahkan terhadap orang-orang yang dalam ukuran akademis tergolong berada di kasta tertinggi.

Betapa banyak misalnya, figur yang menyandang gelar akademis tinggi, namun terjerat kasus hukum dan moral. Tidak sedikit pula orang yang memperdagangkan gelar akademik bagai komoditas, karena pandangan parsial terhadap proses pendidikan. Dekadensi moral tidak mengenal stratifikasi akademis. Itulah salah satu akibatnya bila tidak utuh memotret proses pendidikan.

Selain soal paradigma pendidikan holistik yang belum diterapkan sebagai mainstream dunia pendidikan kita, tantangan lain yang kita hadapi adalah mewujudkan pendidikan berkeadilan. Dua hal ini saling bertalian. Pendidikan yang adil tidak akan pernah bisa diwujudkan sepanjang cara pandang kita terhadap pendidikan terkooptasi oleh stratifikasi artifisial. Pendidikan berkeadilan hanya bisa diwujudkan dengan mengubah dasar paradigma kita terhadap proses pendidikan yang mengintegrasikan tiga komponen: Keluarga, sekolah lingkungan.

Pendidikan berkeadilan berarti soal akses. Pendidikan berkeadilan adalah menjamin semua input dalam proses pendidikan bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanpa terkecuali. Tapi bila kita memandang, misalnya, hanya sekolah tempat belajar akademis, artinya secara otomatis di sana terjadi limitasi terhadap akses input.

Ada border kasat mata yang dibangun, sehingga seolah mengirimkan pesan bahwa pencapaian akademis hanya bisa didapat di sekolah. Padahal, belum tentu semua lapisan masyarakat bisa mengakses sekolah tersebut. Dalam bahasa yang lebih teknis, kita tidak mungkin memaksa masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk mendaftar di sekolah berlabel “unggulan”.

Karena itu, di Insan Cendekia Madani (ICM) yang sejak awal mengusung paradigma pendidikan holistik, selain mengintegrasikan tiga elemen pendidikan, jaringan ICM juga membuka akses melalui beasiswa pendidikan berkualitas. Kuota 20% pendidikan cuma-cuma secara proporsional dan terukur.

Untuk membangun mutu pendidikan, ICM tentu membutuhkan sokongan finansial.

Tapi kebutuhan itu, tidak lantas menjadikan institusi pendidikan sebagai wadah mengakumulasi kapital, atau dalam bahasa yang lebih vulgar, menyimpang dari misi spiritual, sosial, kebudayaan menjadi misi industri berorientasi profit. Tidak.

Baca juga: Mengelola Pendidikan untuk Anak Bangsa

Pada gilirannya, pendidikan berparadigma holistik yang dibangun secara profesional, tumbuh memukau.

Mendapat sambutan luas dari masyarakat dan diapresiasi oleh stakeholders pendidikan. Baik oleh pemerintah maupun Non-Government Organization (NGO).

Yang paling merasakan benefit, tentu saja peserta didik dan orang tua siswa.

Apalagi, institusi bisnis bahkan melihat paradigma pendidikan holistik ini sangat feasible. Sehingga tawaran kerja sama, kemitraan dan kolaborasi datang dari berbagai arah.

Optimalisasi Digital Marketing Bagi Penerbit Buku dalam Modernisasi Pendidikan

Optimalisasi Digital Marketing Bagi Penerbit Buku dalam Modernisasi Pendidikan – Promosi merupakan upaya untuk menyebarluaskan produk yang dimiliki. Pada era digital sekarang ini perkembangan pemasaran atau promosi terus mengalami perkembangan sejalan dengan teknologi yang ada, dengan berkembangnya teknologi banyak peluang baru yang terbuka.
Industri penerbitan telah mengalami banyak perubahan dan evolusi selama bertahun-tahun. Terutama dengan munculnya teknologi digital yang menyebabkan pergeseran dari penerbitan cetak ke penerbitan digital. Disrupsi teknologi telah membawa banyak perubahan bagi industri penerbitan, baik dari segi cara produk dipasarkan maupun cara para pembaca mengakses konten.
Salah satu perubahan terbesar yang terjadi adalah munculnya eBook dan aplikasi pembaca eBook yang memungkinkan para pembaca untuk mengakses buku-buku digital dengan mudah melalui perangkat seluler atau tablet. Ini telah menyebabkan pergeseran dari penerbitan cetak tradisional ke penerbitan digital, dan banyak penerbit yang sekarang menawarkan versi digital dari buku-buku mereka.
PT. Penerbit Erlangga terus berupaya mengikuti arus perkembangan teknologi, produk eBook terus di produksi karena semakin naiknya prisonersamongus.com permintaan masyarakat dan instansi pendidikan akan produk eBook.
Tetapi masih banyak pula yang masih belum mau memakai atau bahkan tidak mengetahui eBook.
Di samping itu, modernisasi juga dapat membantu memperluas akses pendidikan kepada lebih banyak orang. Dengan menggunakan teknologi, sekolah dapat menawarkan program pembelajaran jarak jauh atau kelas daring, yang memungkinkan siswa di lokasi yang jauh atau yang tidak memiliki akses ke sekolah tradisional untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Untuk mendorong masyarakat berpindah dari konvensional ke digital diperlukan promosi yang efektif agar masyarakat paham manfaat digitaliasasi untuk kedepannya. Digital marketing merupakan solusi yang efektif untuk mengatasi ini, digital marketing merupakan pemasaran produk ataupun merek yang dilakukan melalui media digital atau internet.
Pemasaran digital punya banyak kelebihan dibanding pemasaran secara konvensional. Efektivitas digital marketing didukung dengan kebiasaan masyarakat pada saat ini yaitu tidak bisa terlepas dari ponselnya, masyarakat mencari kebutuhan hanya dari rumah dengan menggunakan ponsel mereka.
Menurut Goel ada 5 faktor yang mempengaruhi efektivitas digital marketing
1. Sasaran pasar
Sasaran pasar merupakan faktor terpenting dalam menentukan target pasar karena akan mempengaruhi besarnya biaya promosi yang akan dikeluarkan. Untuk menekan biaya promosi diperlukan efektivitas jangkauan pasar dengan cara fokus pada platform internet mana yang paling banyak kriteria penggunanya sesuai dengan target pasar.
2. Teknologi
Seperti yang kita ketahui, teknologi merupakan pondasi utama dari pemasaran digital, pemanfaatan teknologi terbaru akan mempermudah jangkauan target pasar.
3. Konten
Konten merupakan tempat dimana kita menyebarkan pesan melalui konten yang dibuat. Platform, konten, dan Bahasa harus relatable dengan target pasar.
4. Anggaran
Digital marketing jauh lebih murah dari pemasaran konvensional, tetapi bukan berarti gratis, hanya saja perlu menyiapkan anggaran khusus untuk menyewa layanan iklan di salah satu platform.
5. Media Sosial
banyak bisnis yang terlibat dalam media sosial. Organisasi hari ini tetap dinamis dan catatan jaringan online yang sehat. organisasi juga meminta pekerja mereka melalakukan hal yang sama untuk terhubung dengan klien mereka. Banyak organisasi melakukan promosi melalui jejaring sosial berbasis web dari kelima faktor tersebut, PT. Penerbit Erlangga sudah menjangkau semuanya, optimalisasi web dan konten media sosial gencar dilakukan, ada beberapa hal yang bisa dioptimalkan agar jangakuan digital marketing semakin efektif agar mudah masuk kedalam segmen pasar anak muda yaitu :
1. Pahami selera dan kebutuhan pasar anak muda. Sesuatu yang modern dan simpel dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi anak muda terlebih lagi para gen z. Produk literasi digital dapat menjadi pemasaran yang tepat untuk menjangkau anak muda, hal ini juga dapat mendukung modernisasi pendidikan di Indonesia.
2. Gunakan platform digital yang populer di kalangan anak muda. Instagram dan Tiktok menjadi platform yang populer digunakan di Indonesia, tercatat sebanyak 99,1 orang dan pengguna TikTok di Indonesia rata-rata menghabiskan waktu di TikTok sebanyak 23,1 jam perbulan. Instagram juga tidak kalah banyaknya sebanyak 97,38 juta pengguna Instagram pada oktober 2022 dan jumlah ini terus meningkat.
3. Buat konten yang menarik dan berkualitas. Anak muda sering terpengaruh oleh konten yang menarik, seperti video atau gambar dengan efek visual yang mencolok. konten yang menyajikan informasi yang bermanfaat atau hiburan yang menyenangkan.
4. Jadikan influencer sebagai mitra pemasaran. Anak muda sering terpengaruh oleh influencer yang mereka follow di media sosial. Cari influencer yang tepat untuk bekerja sama dalam mempromosikan produk atau layanan. Saat ini sudah banyak influencer seputar pendidikan hal ini dapat dimanfaatkan untuk mendorong kemajuan modernisasi pendidikan di indonesia sehingga produk digital akan mudah diterima dikalangan anak muda.