Paradigma Pendidikan Holistik

Paradigma Pendidikan Holistik – Keluarga, sekolah, dan lingkungan merupakan tiga komponen utama dalam proses pendidikan yang berkesinambungan. Ketiganya terlibat membentuk karakter peserta didik dalam porsi relatif berbeda.

Kecuali lembaga pendidikan berasrama seperti pesantren atau boarding school, di mana peran ketiga elemen tersebut nyaris melekat seluruhnya pada institusi selama proses pendidikan berlangsung.

Namun, dalam situasi umum proses pendidikan di Indonesia yang menganut konsep pendidikan beragam, antara yang full day dan boarding, tiga elemen itu seperti punya peran terpisah. Mindset masyarakat kita tentang pendidikan, umumnya menempatkan  prisonersamongus.com institusi resmi, yaitu sekolah, sebagai pusat transfer kognitif atau hal-hal yang bersifat akademis.

Sementara pembentukan karakter seolah diserahkan kepada keluarga dan lingkungan. Padahal, peran ketiganya tidak harus terpecah dalam dikotomi sempit yang justru menghambat proses optimalisasi pendidikan. Keluarga, sekolah, dan lingkungan secara fungsional semestinya mengelaborasi semua fungsi pendidikan di mana pun ketiga ‘institusi’ ini dapat menjangkau peserta didik.

Dampak dari dikotomi tersebut sangat terlihat di masa-masa adaptasi pembelajaran akibat COVID-19 ini.

Orang tua dan lingkungan tampak gagap ketika anak harus belajar secara virtual, school from home.

Institusionalisasi pola pikir bahwa sekolah tempat belajar akademik dan keluarga serta lingkungan tempat belajar karakter, mengakibatkan ada yang terputus dalam proses transfer nilai dan ilmu pengetahuan terhadap anak-anak kita. Paling kentara, terlihat dari semangat belajar yang fluktuatif, atau bahkan cenderung lemah ketika berada di lingkungan yang selama ini dilabeli sebagai “bukan sekolah”.

Proses pendidikan semestinya menanamkan nilai dasar pada anak didik, bahwa semua tempat adalah sekolah, semua orang, termasuk teman dan lingkungan adalah guru. Bila ini menjadi paradigma dasar masyarakat kita dalam memposisikan proses pendidikan, maka anak-anak kita punya banyak ruang pembelajaran. Jadi kaya khazanah pengetahuan, wawasan dan bisa terlibat dalam berbagai seleksi nilai maupun karakter yang mereka jumpai sepanjang perjalanan hidup. Paradigma ini, juga menuntun kita melihat bahwa kehidupan merupakan proses pendidikan sepanjang hayat.

Kabar baiknya, beberapa lembaga pendidikan yang memang dikelola lebih modern dan berpikir maju, sudah lama meninggalkan tradisi pemecahan fungsi tiga elemen pendidikan itu. Mengadopsi paradigma pendidikan holistik. Khususnya diterapkan oleh sekolah-sekolah swasta yang kurikulumnya dirancang dan di-develop sesuai intuisi masa depan di mana dinamika ilmu pengetahuan terus berkembang.

Model pendidikan seperti ini pula yang dikembangkan di Insan Cendekia Madani (ICM). Sekolah yang saya dirikan sepuluh tahun yang lalu, mengelaborasi banyak materi pendidikan. Mulai dari pengayaan gagasan dari rahim ideolog dan cendekiawan muslim yang kemudian kita sebut sebagai Prophetic Curriculum, hingga penerapan Kurikulum Cambridge yang terstandardisasi secara internasional.

Pendidikan berkarakter yang direfleksikan melalui integritas intelektual dan kapasitas moral, merupakan buah dari terbangunnya paradigma pendidikan holistik. Sebaliknya, bila dunia pendidikan dipandang secara parsial dan institusional, maka kita akan menemukan banyak cacat moral dan integritas.

Bahkan terhadap orang-orang yang dalam ukuran akademis tergolong berada di kasta tertinggi.

Betapa banyak misalnya, figur yang menyandang gelar akademis tinggi, namun terjerat kasus hukum dan moral. Tidak sedikit pula orang yang memperdagangkan gelar akademik bagai komoditas, karena pandangan parsial terhadap proses pendidikan. Dekadensi moral tidak mengenal stratifikasi akademis. Itulah salah satu akibatnya bila tidak utuh memotret proses pendidikan.

Selain soal paradigma pendidikan holistik yang belum diterapkan sebagai mainstream dunia pendidikan kita, tantangan lain yang kita hadapi adalah mewujudkan pendidikan berkeadilan. Dua hal ini saling bertalian. Pendidikan yang adil tidak akan pernah bisa diwujudkan sepanjang cara pandang kita terhadap pendidikan terkooptasi oleh stratifikasi artifisial. Pendidikan berkeadilan hanya bisa diwujudkan dengan mengubah dasar paradigma kita terhadap proses pendidikan yang mengintegrasikan tiga komponen: Keluarga, sekolah lingkungan.

Pendidikan berkeadilan berarti soal akses. Pendidikan berkeadilan adalah menjamin semua input dalam proses pendidikan bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanpa terkecuali. Tapi bila kita memandang, misalnya, hanya sekolah tempat belajar akademis, artinya secara otomatis di sana terjadi limitasi terhadap akses input.

Ada border kasat mata yang dibangun, sehingga seolah mengirimkan pesan bahwa pencapaian akademis hanya bisa didapat di sekolah. Padahal, belum tentu semua lapisan masyarakat bisa mengakses sekolah tersebut. Dalam bahasa yang lebih teknis, kita tidak mungkin memaksa masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi untuk mendaftar di sekolah berlabel “unggulan”.

Karena itu, di Insan Cendekia Madani (ICM) yang sejak awal mengusung paradigma pendidikan holistik, selain mengintegrasikan tiga elemen pendidikan, jaringan ICM juga membuka akses melalui beasiswa pendidikan berkualitas. Kuota 20% pendidikan cuma-cuma secara proporsional dan terukur.

Untuk membangun mutu pendidikan, ICM tentu membutuhkan sokongan finansial.

Tapi kebutuhan itu, tidak lantas menjadikan institusi pendidikan sebagai wadah mengakumulasi kapital, atau dalam bahasa yang lebih vulgar, menyimpang dari misi spiritual, sosial, kebudayaan menjadi misi industri berorientasi profit. Tidak.

Baca juga: Mengelola Pendidikan untuk Anak Bangsa

Pada gilirannya, pendidikan berparadigma holistik yang dibangun secara profesional, tumbuh memukau.

Mendapat sambutan luas dari masyarakat dan diapresiasi oleh stakeholders pendidikan. Baik oleh pemerintah maupun Non-Government Organization (NGO).

Yang paling merasakan benefit, tentu saja peserta didik dan orang tua siswa.

Apalagi, institusi bisnis bahkan melihat paradigma pendidikan holistik ini sangat feasible. Sehingga tawaran kerja sama, kemitraan dan kolaborasi datang dari berbagai arah.

Pendidikan Karakter: Mengajari Memberi Bukan Meminta

Pendidikan Karakter: Mengajari Memberi Bukan Meminta – Pendidikan karakter yang sering dilakukan sejak dini tentu akan mudah diingat daripada kebiasaan yang diajarkan ketika anak beranjak dewasa. Bagai menulis diatas air, susahnya minta ampun. Namun, ketika tulisan tersebut ditulis, maka akan seketika hilang terkena ombak air.

Tidak mudah mendidik anak agar mempunyai empati yang tinggi serta rasa tanggung jawab sebagai anak.

Pasangan suami istri harus saling mendukung dalam mendidik anak agar dia prisonersamongus.com mempunyai kebiasaan positif, seperti suka menolang orang lain.

Proses tersebut dapat dimulai dari hal kecil. Dibiasakan dengan bertutur kata yang baik dan menasehatinya ketika dia salah, sehingga kebiasaan baik ini nantinya bisa mengakar pada pola pikir seorang anak. Selain itu, orang tua perlu memyampaikan nilai penting dari suka menolang, terlebih jika orang yang ditolong itu sangay membutuhkan bantuan.

Bagi seorang anak, menolong seseorang mungkin tidak asik. Menolong artinya harus mengeluarkan apa yang dimilikinya, bisa berupa tenaga, uang dan ide cemerlang.

Tatkala harus menolong, mungkin si anak merasa dirugikan, karena dirinya takut jika orang yang ditolong itu belum tentu mau menolong dirinya.

Disinilah peran orang tua untuk dapat menjelaskan makna menolong orang lain.

Ada sejuta keuntungan jika seorang anak menolong orang lain. Hal ini bukanlah perkara mudah, tetapi asalkan ada komitmen dari orang tua, semua keinginan agar anak mempunyai karakter baik dapat terwujud.

Widayanti dalam bukunya menulis kisah yang sangat menarik tentang keuntungan menolong orang lain.

Dalam bukunya juga menjelaskan dampak buruk akibat orang tua yang selalu menuruti keinginan anaknya.

“Dulu saya merasa perilaku pada keempat anak saya itu benar. Kini setelah saya berumur empat puluh tahun, saya baru bisa merasakan betapa kelirunya apa yang saya lakukan ketika itu.” Ucap Widayanti

“Saya dan suami paling tidak suka melihat anak ribut. Oleh karena itu, saya selalu berupaya agar dalam rumah tidak terlihat konflik antar anak. Ssjak kecil, saya selalu memberikan apapun itu dengan jumlah sama, baik makanan maupun mainan.” Sambung Widayanti

“Ketika anak beranjak dewasa, saya buatkan kamar untuknya dengan fasilitas yang lengkap. Setelah sudah tamat sekolah, saya dan suami membelikan mobil untuknya. Meski hal ini sangat berat, saya berusaha menuruti keinginannya.” Ujar Widayanti dalam bukunya

“Sesuatu yang awalnya saya rasa tidak akan menimbulkan masalah, ternyata sekarang saya menyadari dampak buruk hal yang saya lakukan ini. Ketika saya beranjak tua, anak-anak seperti tidak ada kedekatan, kehidupannya sangat masing-masing sehingga jarang terjadi saling menolong.” Ucap Widayanti

Baca juga: Makna Alam dalam Pendidikan Berkelanjutan

“Dulu saya dan suami adalah pasangan suami istri yang terlalu sibuk bekerja. Saya rasa hal ini saya lakukan agar semua kebutuhannya dapat terpenuhi. Namun, ternyata saya melupakan pendidikan karakter kepada anak. Hal yang saya sedihkan, saat saya membutuhkan perhatian dan pertolongan, anak-anak hanya memikirkan kehidupannya sendiri.” Ujar Widayanti dalam bukunya

Dari kisah tersebut dapat diambil pelajaran yang sangat penting. Betapa buruknya jika orang tua salah konsep dalam mendidik anaknya. Tatkala anak meminta sesuatu, ada baiknya orang tua menerapkan hukum kausalitas. Mengajari seorang anak untuk senang menolong merupakan tolak ukur ketika beranjak dewasa.

Penulis sangat miris melihat orang tua yang sedang sakit, tetapi dirinya tidak mendapatkan perhatian dari anaknya. Oleh karena itu, ada baiknya orang tua harus menanamkan sejak dini mengenai pendidikan anak, agar anak-anak bisa tumbuh dan berkembang menjadi anak yang diinginkan oleh orang tua.

Penanggung Jawab Pendidikan

Penanggung Jawab Pendidikan – Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kemajuan sumber daya manusia. Zaman akan semakin maju dan modern, sehingga sudah seharusnya kita meningkatkan sumber daya manusia guna mengimbangi perubahan zaman, yaitu dengan pendidikan. Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kemajuan sumber daya manusia.

Zaman akan semakin maju dan modern, sehingga sudah seharusnya kita meningkatkan sumber daya manusia guna mengimbangi perubahan zaman, yaitu dengan pendidikan.Menurut Zakiah Daradjat, Allah menciptakan manusia dengan fitrah berupa pendidikan, akan tetapi fitrah tersebut wajib dikembangkan oleh manusia prisonersamongus.com, artinya, sudah menjadi tanggung jawab setiap manusia untuk mengembangkan pendidikan.

Seseorang akan mengalami pendidikan pada beberapa lingkungan, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Lantas siapa penanggung jawab pendidikan?

• Peserta didik

Peserta didik bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri. Peserta didik harus berusaha belajar dengan baik, menerima bimbingan dari pendidik, dan mengamalkan ilmu yang telah diterima.

• Orang tua

Orang tua bertanggung jawab dalam membentuk karakter dan kepribadian seorang anak. Orang tua memiliki tanggung jawab yang besar dalam mempersiapkan dan mewujudkan masa depan anak-anaknya, mereka bertanggung jawab dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya.

Menurut Sayyid Qutb, orang tua harus menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya, karena anak akan mencontoh ucapan atau perlakuan orang tua dalam rumah tangga.

Tugas orang tua sebagai penanggung jawab terhadap pendidikan, yaitu menanamkan akidah, menanamkan nilai sosial, serta membina perkembangan fisik, psikis dan intelektual.

• Pendidik/guru

Seseorang yang bertanggung jawab terhadap pendidikan setelah orang tua adalah guru, guru merupakan pengganti orang tua di sekolah. Guru bertanggung jawab dalam upaya mendidik dan mencerdaskan peserta didik dengan berbagai potensi.

Guru berperan penting bagi kehidupan manusia, karena segala profesi yang ada di dunia, terlahir dari seorang guru, sehingga, guru dapat menentukan maju atau tidak nya suatu bangsa. Tanggung jawab utama pendidik adalah membimbing peserta didik hingga pada akhirnya mampu hidup dalam kemandirian, tidak bergantung kepada orang lain.

Baca juga: 10 Perguruan Terbaik di Indonesia Versi Webometrics 2023: Ada UI hingga Binus

• Pemerintah

Pemerintah bertanggung jawab atas membimbing dan mengarahkan pendidikan anak secara tidak langsung. Pemerintah bertanggung jawab dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan, seperti menyediakan kebutuhan dasar pendidikan yang layak, melakukan standarisasi nasional terhadap pendidikan, seperti contoh kurikulum dasar, serta membuat peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal maupun nasional.