Orientasi Nilai Tertinggi Bukan Ukuran Prestasi Anak

Orientasi Nilai Tertinggi Bukan Ukuran Prestasi Anak – Tepat hari sabtu kemarin seluruh lembaga pendidikan di Indonesia dari tingkat SD,SMP, dan SMA menerima hasil belajar selama satu semester. Siswa yang giat belajar tentu mendapat nilai dan hasil yang lebih baik dan sebaliknya. Bahkan dalam pendidikan kita, siswa yang memiliki Orientasi nilai sangat memuaskan akan mendapatkan penghargaan dari sekolah sebagai apresiasi dari antusias belajar yang baik dari siswanya. Ada dalam bentuk hadiah, tropik dan lain-lain.

Siswa atau siswi tersebut adalah orang-orang yang di anggap memiliki kompetensi belajar yang baik dan layak menjadi panutan untuk teman-teman mereka dikelas maupun di lingkungan sekolah mereka berada.

Dulu ketika saya duduk bangku SD di kampung, bukan sombong saya memang memiliki banyak prestasi. Saya sedikit berbeda dari teman-teman kelas saya yang lain.

Setiap pembagian raport ranking kelas sudah pasti nama saya selalu di atas. Kalau bukan juara satu dapat juara dua atau mirisnya dapat juara tiga. Hal itu, terjadi terus menerus sampai saya tamat dari SD.

Hal yang sama pun terjadi saat saya duduk di bangku SMP. Nama saya selalu berada pada deretan nama-nama siswa berprestasi di kelas. Tetapi situasi sedikit berbeda saat itu, saya menghadapi tantangan dan persaingan yang lumayan keras karena siswa yang sekolah di SMP tersebut berasal dari berbagai daerah atau desa dengan kompetensi yang berbeda-beda dari sekolah asal.

Saat pembagian hasil belajar selama satu semester di awal semester kelas 7 hati dan pikiran tidak tenang dan selalu memprediksi prisonersamongus, apakah saya masuk pada barisan para juara atau tidak di kelas?

Saat pembagian tiba raport, wali kelas segera mengumumkan nama-nama siswa berkompeten di kelas dari juara 1,2, 3 sampai 10 besar. Saya pun diam dan menunggu prosesnya pembagian raport tersebut.

Wali kelas saya dengan nada suara yang keras membacakan nama-nama siswa berprestasi tersebut. Juara pertama nama saya nyaris terlewatkan. Juara kedua dan ketiga sama nama saya juga terlewatkan.

Akhirnya, saya hanya masuk di daftar sepuluh besar yakni, ranking empat. Harapan terbesar menjadi siswa berprestasi seperti sudah hilang di muka bumi, raut wajah berubah 180 derajat. Melihat teman-teman yang mendapat nilai tertinggi, saya ibarat orang yang sedang kalah di ruang peradilan dimana sulit menerima keputusan dari wali kelas saya tersebut. Jujur, saat itu saat malu mengucapkan selamat kepada mereka yang terpilih jadi siswa berprestasi.

Sudah umum saat selesai pembagian raport orang tua pasti bertanya bagaimana mana hasil belajar selama ini. Saya pun mengalami hal demikian, ayah saya menanyakan bagaimana nilai serta prestasi yang saya dapat selama satu semester terakhir.

Fider, juara berapa? Ucap, ayah menuju ke arah saya. Saya diam dan enggan mengucapkan karena saya tahu ayah pasti marah karena saya hanya dapat ranking empat kelas.

Dengan nada yang lumayan keras ayah bertanya kedua kalinya, Fider juara berapa! Sambil menundukkan kepala saya jawab, ranking empat ayah.

Ayah sambil melihat ke arahku seperti tidak menerima jawaban saya dan berkat, kamu bodoh! Kenapa temanmu bisa dapat juara satu, kenapa kamu tidak? Dengan kepala dingin aku hanya diam dan berkata dalam hati. Kenapa juara itu sangat perlu bagi orang tua? Apakah tuntutan orang tua ketika anaknya sekolah harus dapat juara dan pintar agar bisa mengalahkan siswa yang lain?

Saya kemudian menarik nafas perlahan dengan penuh pertanyaan dalam hati dan menanggap positif perkataan ayah.

Disinilah inkonsistensi berpikir orang tua dalam melihat pendidikan anak. Sekolah yang isinya pendidikan seolah-olah dijadikan hanya sebatas tempat supaya anak bisa juara dan bisa memiliki nilai lebih dari anak-anak yang lain. Jelas! hal ini tidak di benarkan dengan teori apapun. Pada dasarnya, pendidikan bukan tempat kontestasi kejuaraan, namun pendidikan adalah ruang bagi anak-anak untuk mengolah dan mengasah ketajaman imajinasi, berpikir kreatif dan kritis.

Banyak orang tua yang membandingkan anaknya dengan anak orang yang lain. Kenapa si A juara satu, kenapa kamu tidak?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini seringkali dihadapi oleh anak-anak yang seyogianya masih rentan dengan asupan ilmu pengetahuan yang banyak. Namun, menjadi hambar orang tua lupa bahwa motivasi dan semangat dari mereka sangat di butuhkan oleh seorang anak untuk menunjang kegiatan keterampilan mereka terhadap pendidikan itu sendiri. Bukan malah menuntut anak harus juara dan sebagainya.

Orang tua sering mengindentifikasi tingkat kecerdasan seorang anak sama. Teori kecerdasan menyatakan bahwa, individu memiliki paling tidak 8 jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan verbal linguistik, logis matematis, visual spasial, kinestetik, musik, intrapribadi, antarpribadi, dan naturalis. Dari delapan kecerdasan tersebut, masing-masing anak mempunyai talentanya tersendiri.

Kecerdasan seorang anak sangat relatif atau majemuk, dan jamak. Bahkan kecerdasan sendiri terbentuk seiring dengan proses pertumbuhan anak. Artinya, kecerdasan atau Kepiawaian seseorang tidak bisa di paksa atas kehendak kita sendiri karena yang menjalani proses kecerdasan tersebut bukan kita atau orang tua melainkan anak.

Memang metode dalam mengukur kemampuan anak, khususnya di lingkungan pendidikan biasanya menggunakan metode penilaian dengan berbasis angka. Namun, orientasi nilai diatas rata-rata melalui angka tersebut bukan barometer mutlak dalam menilai prestasi dan kualitas seorang anak.

Baca juga: Wajah Baru Pendidikan Indonesia

Sebab, anak memiliki kompetensi dan jalan berpikirnya tersendiri. Secara pribadi saya bangga dengan anak-anak yang mempunyai ragam prestasi, tetapi di lain sisi juga saya juga mengapresiasi anak-anak yang tidak beruntung atau tidak tergolong sebagai siswa berprestasi dengan akumulatif nilai tertinggi.

Dengan alasan nilai tertinggi bukan jaminan masif seseorang bisa sukses atau tidak.

Bagi saya mereka sama-sama penting sebagai kompetisi hebat dan handal yang di berlakukan sama oleh guru maupun orang tua. Jika di dalam kelas ada 20 orang siswa dan tiga di antaranya terpilih sebagai siswa berprestasi. Maka, sesungguhnya 18 siswa tersbut melahirkan 3 siswa berprestasi. Itu logika sederhananya menurut saya.

“Prestasi memang baik tetapi juara bukan yang lebih baik”

Pendidikan, Faktor Kunci Pemberantasan Human Trafficking

Pendidikan, Faktor Kunci Pemberantasan Human Trafficking – Di dunia modern, sangat menyedihkan bisnis perdagangan manusia terus saja bertumbuh dan tidak ada matinya. Perbudakan yang sudah lama hilang nyatanya tidak serta merta menghapus bisnis nista ini.

Banyak orang yang dijual tanpa sepengetahuan mereka. Bahkan, mereka tidak bisa melepaskan diri dikarenakan sudah terjebak di dalam lingkaran setan yang tidak berujung.

Perdagangan orang paling rentan dialami oleh perempuan dan anak-anak. Data tahun 2021 berdasarkan keterangan deputi bidang perlindungan anak Kementerian Pemberdayaan perempuan, angka tindak pidana perdagangan orang untuk anak dan perempuan  prisonersamongus.com  menyentuh angka 62 persen.

Banyak modus yang digunakan dalam TPPO. Salah satunya adalah menyasar orang-orang yang tinggal di desa-desa terpencil dengan diiming-imingi bekerja di Kota atau luar negeri dan ternyata kemudian mereka dijual di pusat-pusat hiburan malam.

Para mafia perdagangan orang itu, bergerilya ke desa-desa dan merekrut penduduk desa itu sebagai kaki-tangan dengan membawa cerita-cerita palsu tentang betapa mudahnya mendapatkan uang di luar negeri atau di kota.

Untuk itu, pendidikan memegang peranan yang sangat penting. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama, bahwa semua rakyat Indonesia wajib untuk mengikuti wajib belajar hingga sekolah menengah.

Saatnya pemerintah memasukkan tindak perdagangan orang ke dalam kurikulum.

Sejak dini ditanamkan kepada siswa untuk berpikir kritis agar tidak terperdaya dengan tindakan-tindakan manipulatif oknum-oknum yang mau mengambil keuntungan dari kebodohan dan memperbodohi orang lain.

Bahwa untuk bekerja diluar negeri dibutuhkan keterampilan yang memadai. Sehingga mereka tidak tertarik dengan iming-iming kosong yang menjebak dan menghancurkan. Betapa banyak orang Indonesia yang kemudian jadi budak-budak di tempat-tempat jauh dari negara kita dengan penderitaan yang tidak terkira-kira.

Fungsi lembaga pendidikan salah satunya adalah mencerdaskan peserta didik. Buka wawasan siswa untuk lebih memilih bertani ketimbang bekerja di luar negeri di area abu-abu yang sama sekali belum mereka ketahui.

Bersamaan dengan itu, pemerintah bisa membuka sentra-sentra UKM yang dikelola oleh milenial yang lulusan sarjana. Dana pengentasan kemiskinan di Kementerian-Kementerian dan Pemda yang ratusan triliun, sebaiknya dipakai untuk aksi nyata pengentasan kemiskinan di desa-desa.

Bentuk badan khusus yang mengelola dana yang sampai mencencah angka Rp500 triliun itu. Angka sebesar itu mungkin sangat bisa mengatasi pengangguran di seluruh Indonesia.

Jika sentra-sentra UKM dibuka dan juga industri-industri kreatif yang menyasar masyarakat bawah yang miskin saya yakin angka perdagangan manusia akan turun drastis. Menjadi orang miskin itu sangat tidak enak.

Tidak banyak pilihan yang dimiliki. Segala keterbatasan membuat mereka rela dan mau bekerja di luar negeri dengan risiko yang besar demi memperbaiki nasib.

Dana pengentasan kemiskinan yang besar itu, bisa juga dipakai untuk membangun pusat pelatihan keterampilan untuk calon-calon TKI dari desa-desa. Berikan semua keterampilan yang mumpuni untuk mereka.

Beri keterampilan bahasa Inggris agar buruh-buruh migran kita tidak gampang disetrika majikan akibat kemampuan bahasa yang menyedihkan hingga mereka tidak paham apa yang diperintahkan.

Terjunkan pelatih-pelatih khusus untuk keterampilan-keterampilan calon-calon TKI tersebut. Jangan biarkan satu pun yang berangkat tanpa ada keahlian. Melihat luasnya lahan Indonesia yang belum digarap, perdagangan manusia sepantasnya tidak terjadi.

Pemerintah perlu memperbanyak SMK-SMK pertanian dengan membangun sekolah-sekolah canggih yang bisa menarik minat siswa untuk belajar di sana. Saat ini, kita tengah mengalami krisis petani muda. Hanya ada 38 juta petani, dibandingkan sepuluh tahun lalu ada 42 juta petani.

Anak-anak muda lebih memilih bekerja serabutan diluar negeri ketimbang bertani. Padahal dunia tengah mengalami krisis pangan. Khusus Indonesia, segalanya diimpor termasuk garam dan cabe. Padahal kalau saja generasi muda mau jadi petani uang impor yang begitu besar tidak lari keluar negeri melainkan ke kantong rakyat sendiri.

Pendidikanlah yang memegang peranan besar dalam mengatasi human trafficking yang semakin tinggi angkanya dari tahun ke tahun. Pendidikan yang memberi bekal pemahaman kepada siswa dan perempuan bahwa mereka tidak sepatutnya terjerat dalam lingkaran maut dan setan tersebut.

Sudah saatnya human trafficking masuk dalam kurikulum. Semua manusia adalah manusia bebas. Manusia lain lah yang menjadikan mereka menjadi budak dengan cara diperjualbelikan dengan berbagai trik. Hanya kecerdasan berpikir yang bisa melawan kejahatan terstruktur dan masif ini. Dan hal itu sudah menjadi tugas lembaga pendidikan.

Baca juga: Rilis Webometrics, UNIMUDA Sorong Kampus Terbaik 1 di Papua Barat

Kepada lembaga pendidikan kita berharap banyak. Generasi-generasi muda Indonesia adalah penerus bangsa, bukan dijual dan ditawarkan di situs-situs penjualan orang dan mafia-mafia perbudakan modern.

Orang cerdas, akan menyaring informasi sebelum gegabah memutuskan melangkah.

Sudah saatnya sekolah-sekolah memasukkan human trafficking menjadi satu pembahasan wajib di semua jenjang pendidikan sekolah menengah atas. Dengan demikian, meskipun masih bocah, generasi muda sudah melek dan paham apa itu human trafficking dan bagaimana menghindarinya.